Banyak wanita tahu
bahwa sepatu berhak tinggi seringkali tidak nyaman, tidak stabil, sekaligus
tidak praktis. Namun, tetap saja kaum hawa ini memilih mengenakan sepatu jenis
tersebut karena alasan meningkatkan kepercayaan diri.
Sepatu hak tinggi memang indah, tetapi
menyakitkan. Para ilmuwan dari Australia menemukan bahwa mengenakan sepatu hak
tinggi atau mengarahkan jari kaki ke bawah secara terus-menerus akan mengubah
cara berjalan seseorang sehingga juga berisiko merusak otot-otot kaki secara
permanen.
Para ilmuwan dari Griffith University Australia
membandingkan satu grup pecinta hak tinggi dengan satu grup kontrol, yakni
wanita berusia remaja akhir hingga usia 30-an tahun yang jarang mengenakan
sepatu berhak tinggi. Para wanita tersebut diminta oleh para peneliti agar
berjalan tanpa alas kaki kemudian diamati untuk mengetahui adakah ada perubahan
dalam cara melangkah akibat menggunakan sepatu hak tinggi. Demikian tulis koran
Amerika New York Times seperti dikutip kembali oleh situs Daily Mail edisi 26
Januari 2012.
Semua wanita itu diminta untuk berjalan di
landasan pacu sepanjang 26 kaki yang dasarnya dipasangi sensor. Yang dimonitor
adalah kekuatan masing-masing kaki saat menapak di tanah maupun sendi dan otot
saat beraktivitas.
Hasil penelitian yang dipublikasikan bulan ini di
Journal of Applied Physiology menemukan, meskipun saat berjalan di tanah yang
rata, para penggemar hak tinggi, yaitu mereka yang kerap mengenakan alas kaki
setinggi 2 inci atau lebih selama 40 jam per minggu atau lebih selama lebih
dari dua tahun, mengalami cara berjalan yang disesuaikan secara mekanik
dibandingkan dengan mereka yang bukan penggemar alas kaki berhak tinggi.
Para pengguna alas kaki datar melangkah lebih
panjang dengan menggunakan tendon mereka untuk berjalan dan tidak banyak
melibatkan betis mereka.
Perhatikan cara berjalan salah satu pesohor dunia
yang gemar bersepatu hak tinggi, Victoria Beckham. Ia melangkah lebih pendek
dan agresif, serta memberikan tekanan lebih pada otot betis, kata New York
Times.
Cara berjalan seperti itu, menurut tim dari New
York Times, adalah cara berjalan yang tidak efisien karena para pengguna sepatu
hak tinggi memaksa betis mereka bekerja ekstra keras untuk melangkah ketimbang
menggunakan tendon mereka yang mengontrol cara berjalan tanpa alas kaki.
The New York Times melaporkan bahwa temuan
tersebut sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan bagi para peneliti yang
diketuai oleh Dr. Neil J. Cronin yang saat ini sudah pindah ke University of
Jyvaskyla, Finlandia.
Hasil penelitian untuk mengungkapkan bahwa
setelah dua tahun, para pengguna sepatu hak tinggi akan cenderung untuk
menderita kelelahan otot dan luka akibat tekanan.
Karena itu, kata Dr. Cronin, diperlukan perawatan
khusus ketika melakukan olahraga dan memberikan tekanan pada tendon yang tidak
sering tertekuk sepenuhnya. Disarankan juga untuk beristirahat sejenak dari
penggunaan sepatu hak tinggi karena alas kaki jenis itu sebaiknya hanya
dikenakan sekali atau dua kali seminggu.